Ekowisata Desa Penglipuran
Ekowisata adalah perilaku wisata yang bertanggung jawab, karena biasanya mengunjungi obyek atau daerah yang masih asli atau dilindungi, yaitu dengan melakukannya dalam kelompok kecil/terbatas serta senantiasa berusaha memberi dampak minimal (sebagai alternatif wisata konvensional yang cenderung massal). Tujuannya adalah untuk memberikan wawasan bagi para wisatawan, mendukung upaya konservasi lingkungan,meningkatkan kesejahteraan masyarakat lokal, serta mendorong penghormatan terhadap budaya yang berbeda sebagai wujud hak asasi manusia.
Sejak 1980-an ecotourism telah dianggap sebagai bentuk reaksi kritis terhadap berbagai masalah lingkungan demi kehidupan yang lebih baik. Ekowisata biasanya merupakan perjalanan ke tempat-tempat di mana mana flora, fauna dan warisan budaya adalah atraksi utamanya. Salah satu tujuannya adalah untuk memberikan wawasan bagi wisatawan akan dampak (kegiatan) manusia terhadap lingkungan, serta menumbuhkan penghargaan yang lebih besar terhadap habitat alam di sekitar kita.
Ecotourism mengembangkan program-program yang meminimalkan dampak negatif dari wisata konvensional dan meningkatkan integritas budaya masyarakat setempat. Oleh karena itu, selain mempertimbangkan faktor lingkungan dan budaya, maka promosi daur ulang, efisiensi energi, konservasi air, dan penciptaan peluang ekonomi bagi masyarakat setempat merupakan bagian integral dari ekowisata. Untuk alasan ini, ecotourism sangat menarik bagi para penggiat lingkungan dan masyarakat.
Karena prinsip-prinsip ekowisata tidak diterapkan dengan baik, kerusakan ekologis sering terjadi akibat tindakan greenwashing, seperti: hotel bawah air, wisata helikopter, taman wisata alam tematik, photography camp, pengamatan satwa yang seringkali menyatakan diri sebagai ekowisata. Kegagalan untuk mengakui dampak ekologis dari kegiatan tersebut justru dalam jangka panjang akan menimbulkan kerugian bagi perusahaan-perusahaan penyelenggara “ekowisata” tersebut.
Karena dalam ecotourism sejati, yang dipasarkan adalah pengalaman ekowisata sebagai gaya hidup yang berbeda dari wisata konvensional skala besar. Pembangunan sarana dan prasarana tidak perlu sesuai dengan standar pariwisata Barat, dan dapat jauh lebih sederhana dan lebih murah. Akan ada multiplier effect lebih besar pada perekonomian, karena penggunaan produk, bahan, dan tenaga kerja lokal. Keuntungan lebih besar bagi perekonomian lokal karena import berkurang. Namun juga disadari, bahkan ecotourism mungkin memerlukan investasi asing untuk promosi atau start up. Ketika hal itu dipelukan, sangat penting bagi masyarakat setempat untuk menemukan sebuah perusahaan atau organisasi non-pemerintah yang memahami filosofi ekowisata, peka terhadap kepentingan masyarakat dan bersedia untuk bekerjasama secara saling menguntungkan. Asumsi dasar dari multiplier effect adalah bahwa perekonomian dimulai dengan sumber daya yang tidak terpakai, misalnya bahwa banyak tenaga kerja yang menganggur dan banyak kapasitas industri tidak dimanfaatkan dengan baik.
Penghargaan ekowisata terbaik di Indonesia yang terbagi atas tiga kategori, yakni pengelolaan daya tarik wisata alam berwawasan lingkungan, pengelolaan daya tarik wisata budaya berwawasan lingkungan, dan pengelolaan daya tarik wisata buatan berwawasan lingkungan, masing-masing dikelola oleh pemerintah, pemerintah daerah, BUMN, dan BUMD; BUMS; dan LSM, masyarakat, dan perorangan, 9 di antaranya menjadi pemenang sebagai berikut:
1. Ulun Danu Bratan, Bali
2. Agowisata Hutan Mangrove Lagoi, Riau
3. Pulau Kakaban, Kalimantan Timur
4. Benteng Vredeburg, Yogyakarta
5. The Blanco Renaissance Museum, Bali
6. Desa Wisata Penglipuran, Bali
7. Owabong, Jawa Tengah
8. Kampung Sampireun, Jawa Barat
9. Jawa Timur Park I, Jawa Timur (Yulianti, 2013).
Kali ini kita akan mengulas tengtang bagaimana ekowisata di daerah Desa Wisata Penglipuran Bali beserta efek ekowisata tersebut pada kawasan tersebut.
Desa Panglipuran
Terletak di Kelurahan Kubu, Kecamatan Bangli, Kabupaten Bangli dengan ketinggian 500-600 m di atas pemukaan laut dan 80292893 LS, 11503036 BT. Yang berjarak 5 Km arah utara dari Kota Bangli dan 45 Km dari kota Denpasar. Luas Desa Penglipuran adalah 112 Ha, 9 Ha digunakan sebagai pemukiman warga dan sisanya adalah hutan dan tanah tegalan/ladang. Desa ini dapat dicapai dengan 2 jam perjalanan dari Bandara Ngurah Rai, Tuban baik menggunakan bus, mini bus ataupun dengan kendaraan roda dua. Akses jalan menuju desa sudah aspal/Hotmix (Anonim, 2012).
Dari sudut pandang sejarah, kata ’’Penglipuran” berasal dari kata ’’Pengeling Pura’’ yang memiliki makna Eling/Ingat akan tempat suci/Pura untuk mengenang para leluhur. Desa ini sangat berarti bagi penduduk sejak leluhur mereka datang dari Desa Bayung Gede, Kecamatan Kintamani yang jaraknya cukup jauh dari Desa Penglipuran, oleh karena itu masyarakat Desa Penglipuran mendirikan Tempat Suci/Pura yang sama sebagaimana yang ada di Desa bayung Gede. Hal ini menunjukan bahwa masyarakat Desa Penglipuran masih mengenal asal usul mereka.
Pendapat lain mengatakan bahwa ’’Penglipuran’’ diambil dari kata ’’Penglipur’’ yang berarti ’’Penghibur’’ dimana pada jaman kerajaan desa ini kerap kali dipakai raja untuk tempat peristirahatan (Anonim, 2012).
Desa Adat Penglipuran sudah ada sejak 700-an tahun yang lalu, yaitu pada zaman kerajaan Bangli. Meneurut penuturan para sesepuh/ penglingsir, desa Penglipuran merupakan sepihan dari desa Bayung Gede, Kintamani. Kata Penglipuran berasal dari kata “Pengeling dan Pura” yang artinya pengeling. Eling = ingat/ mengingat dan pura = tempat/ benteng/ tanah leluhur. Jadi penglipuran artinya ingat kepada tanah leluhur/ tempat asal mulanya. Hal ini didasarkan pada alasan bahwa pendahulu/ leluhur Desa Penglipuran berasal dari Desa Bayung Gede, Kintamani. Karena letak jarak antara Kota Raja Bangli dengan Desa Bayung Gede sangat jauh (sekitar 25 km) dan perjalanan jaman dulu dengan jalan kaki dan maksimal naik kuda, maka untuk memudahkan komunikasi dibuatlah semacam peristirahatan di daerah Kubu (4,5 km) dari kota Bangli. Dari waktu ke waktu akhirnya warga ini terus bertambah banyak karena sudah ada yang berkeluarga dan sudah layak untuk menjadi desa. Sebelum bernama Penglipuran, desa ini dulunya bernama desa Kubu Bayung yang artinya orang Bayung yang tinggal di wilayah Kubu (Wayan, 2002).
Selanjutnya penduduk ini terus bertambah dan sepakat untuk membuat desa sendiri dan terlepas dari kewajiban desa asalnya (Bayung Gede) dan membuat tempat suci sendiri (Pura Kahyangan Tiga). Namun dalam penataan pola tata ruang desanya membuat konsep desa leluhurnya yang ada di desa Bayung Gede. Sehingga pola tata ruang desa Penglipuran, adat/ budaya, fisik maupun non fisik yang diterapkan disesuaikan dengan desa Bayung Gede. Itulah sesbabnya desa ini disebut dengan desa Pengipuran. Tetapi dipihak lain para penglingsir ada yang berpendapat bahwa desa Penglipuran berasal dari kata “penglipur” yang bearti penghibur. Yang mana konon pada jaman kerajaan dulu Raja Bangli sering pergi ketempat ini untuk meghibur diri/ menenangkan pikiran beliau (Wayan, 2002).
Komunitas Penglipuran, sebagai pemukiman tradisional di daerah pegunungan yang diperkirakan keberadaannya mulai abad ke-11 pada era Bali Aga dan kini setelah sekian abad berlalu memasuki era globalisasi masih tetap bertahan dengan beberapa perubahan kecil tanpa kehilangan makna yang dikandungnya. Sebagai suatu lingkungan pemukiman tampaknya seluruh denyut kehidupan mereka tidak dipengaruhi ataupun juga ketergantungan dengan wilayah lainnya. Semangat kemandirian dan kebersamaan "solidaritas" mereka sangat kuat dan dipercaya telah mereka miliki sejak nenek moyang mereka pertama kali berada di Penglipuran dari Bayung Gede. Setelah pola menetap dikenal dari kehidupan yang berpindah-pindah dari suatu tempat ke tempat lainnya sebagai suatu perjalanan tradisi maka unsur tanah yang subur dan adanya sumber air merupakan suatu persyaratan suatu lokasi pemukiman. Umumnya lokasi-lokasi yang subur berada pada daerah di sekitar gunung berapi.
Berdasarkan Data Tahun 2012 Bulan September, Jumlah penduduk Desa Penglipuran sebanyak 927 orang dengan jumlah KK 232 orang yang hidup sabagian besar sebagai petani dan sebagian kecil sebagai Pegawai Negeri. Seni Budaya dan Cenderamata berkembang pesat di desa terpencil ini. Desa Tradisional Penglipuran memiliki potensi budaya yang hingga kini masih dilestarikan dalam bentuk Rumah Adat Tradisional dengan ke khasan tersendiri yang membedakan desa Penglipuran dari desa-desa lain yang ada di Bali (Anonim,2012).
Hutan Bambu
Di Bali, kondisi hutan sudah sangat memprihatinkan. Walhi dalam publikasinya 24 November 2006 menyebutkan, dari 127.271 hektar total luas hutan di Bali, sekitar 31.817,75 hektar atau 25% di antaranya telah mengalami konversi (perubahan) fungsi lahan. Perubahan fungsi lahan hutan disebabkan beberapa hal, antara lain perambahan kawasan hutan oleh kelompok-kelompok masyarakat yang berdiam di sekitar hutan, penggunaan kawasan hutan untuk pembangunan di luar sektor kehutanan dan penebangan liar (Bali Post,2006).
Upaya mempertahankan kelestarian hutan sesungguhnya telah dilakukan oleh sebagian besar masyarakat Bali, dimana pengelolaan hutan diserahkan kepada desa adat. Terjaganya kelestarian hutan yang dikelola oleh desa adat di Bali tidak terlepas karena peran pemangku adat yang memimpin pengelolaan hutan berdasarkan nilai-nilai kearifan lokal desa adat setempat. Salah satu desa adat yang terkenal karena keteraturan sistem sosial masyarakat dan kelestarian hutannya adalah Desa Adat Penglipuran (Wiguna, 2012).
Sekitar 75 hektar atau lebih dari 50 persen dari total lahan seluas 112 hektar di Desa Adat Penglipuran adalah hutan bambu. Hutan itu mengelilingi hampir seluruh wilayah desa, mulai dari arah timur laut desa, utara, barat, dan selatan. Kelestarian hutan bambu tetap terjaga karena memberikan penghidupan sekaligus perlindungan yang telah disadari oleh masyarakatnya. Hal ini tentu berbeda dengan kondisi yang terjadi di kawasan Bali lainnya, khususnya kawasan Bali Selatan yang sarat akan modernisasi yang berasal dari pengembangan sektor pariwisata. Berdasarkan masalah tersebut, maka perlu dikaji berbagai upaya yang telah dilakukan masyarakat Desa Adat Penglipuran dalam melestarikan hutan dengan berdasarkan pada kearifan lokal setempat (Wiguna, 2012).
Panglipuran dikelilingi oleh Hutan bambu yang memberikan udara pedesaan yang sejuk dan segar dengan bunyi gesekan pohon bambu yang unik bila bersentuhan satu sama lain di saat angin berhembus (Anonim,2012)..
Hutan ini dimiliki oleh Desa dan sebagian milik Penduduk setempat dengan luas 45 Ha yang dipakai untuk keperluan penduduk membangun rumah dan kerajinan tangan disamping untuk keperluan upacara adat. Disamping itu hutan ini juga berfungsi sebagai penyerap air disaat hujan dan penyedia air bersih di musim kemarau bagi desa yang berada dibawahnya (Anonim,2012).
Hutan bambu yang berada di wilayah lingkungan Penglipuran sangat bermanfaat bagi ekologi alam. Pohon-pohon bambu tersebut dapat memperkuat tebing-tebing pada sisi Utara dan Barat desa dari erosi, menyimpan kandungan air, serta menyuburkan tanah akibat pelapukan daunnya. Di samping itu, bambu bagi komunitas Penglipuran juga bermanfaat sebagai bahan-bahan bangunan, alat-alat rumah tangga, dan alat-alat upacara. Perkembangan selanjutnya bambu juga dimanfaatkan sebagai penyangga ekonomi seperti yang dituturkan salah satu tokoh masyarakat. Beliau menyebutkan sedikitnya ada tujuh jenis bambu (tiing) di Penglipuran. Pengklasifikasian jenis-jenis bambu ini didasarkan pada diameter batang, serat batang, kebersihan kulit atau warna kulit bambu. Contohnya dapat dilihat pada tabel berikut (Wiguna, 2012)..
No Nama Bambu Ciri-ciri Fungsi
1 Tiing Jajang Diameter batang 9- 11 cm,
seratnya agak besar, warna kulit bersih. Atap rumah
( sirap )
2 Tiing Tali Diameter batang 8 -9 cm, seratnya kecil-kecil, warna kulit bersih. Tali pengikat untuk bangunan ( tali tutus )
3 Tiing Jajang Batu Diameter 9 - 11 cm, seratnya
agak besar, kulitnya tidak
terlalu bersih. Cerangcang/ dinding rumah.
4 Tiing Jajang Taluh Diameter 8 -9 cm, seratnya
kecil-kecil, kulitnya bersih . Sebagai Pagehan, bedeg
5 Tiing Jajang Papah Diameter 8 -9 cm, seratnya kecil-kecil, kulitnya paling bersih. Anyaman bambu untuk dinding rumah (Bedeg) yang kualitasnya paling bagus.
6 Tiing Lepung Diameternya 15 - 16 cm, seratnya besar, kulitnya bersih. Tiang bangunan.
7 Tiing Tultul Diametr 8 - 10 cm, warnanya
kekuningan berisi bintik- bintik hitam kecoklatan. Anyaman bambu untuk dinding rumah (Bedeg) kualitas biasa.
Melalui bambu, Penglipuran bisa dikenal di tingkat nasional oleh pemerintah sebagai penerima penghargaan Kalpataru pada tahun 1995 yang lalu. Adanya ke empat potensi sumber daya alam berupa tanah yang subur, sumber air, iklim yang mendukung, serta hutan bambu, menjadikan Penglipuran sebagai suatu komunitas tetap eksis sampai saat ini seiring dengan perubahan waktu tanpa harus merubah rantai ekologis ke empat potensi tersebut di atas (Wiguna, 2012).
Dengan kearifan lokal yang dimiliki, sehingga mereka dapat menjaga kelestarian hubungan antara tanah, air, iklim, dan hutan bambu. Bambu dan tanah dalam pengelolaannya akan berdampak pada air dan iklim sesuai dengan skalanya pada daerah kasus (dampak juga diakibatkan oleh wilayah sekitarnya). Bila bambu ditebang habis maka akan terjadi erosi, endapan air, dan hilangnya kesuburan tanah. Kemudian bila tanah dijual atau berubah fungsi maka akan terjadi perubahan ekosistem yang pada hasilnya nanti akan mempengaruhi pula pola pemikiran, tingkah laku dan lain-lainnya pada manusia. Potensi utama tidak beralihnya kepemilikan sekaligus fungsi tanah adalah karena konsep kebersamaan mereka dan tidak adanya pemikiran perorangan dalam wilayah pemukiman Penglipuran. Semua tanah dari pekarangan rumah, sawah, tegalan, hutan, dan lain-lainnya adalah milik desa yang dikenal dengan tanah laba pura, atau tanah di luar areal pura sebagai kekayaan yang hasilnya untuk segala keperluan pura, tanah milik " padruwen " desa adat, karang kerti atau pekarangan rumah, tanah ayahan desa atau dikenal dengan AYDS ( Awig-awig Desa Adat Penglipuran, Palet 5, Paos 25, ayat 2, 1989:8).
Disekitar hutan bambu tersebut juga terdapat laboratorium dan workshop bambu yang sayang sekali aktivitasnya sementara berhenti, namun fasilitasnya masih utuh. Potensi lainnya adalah hutan vegetasi, kebun salak, kebun jeruk serta pemandangan sawah terasering dan sungai.
Adanya pura-pura yang tergolong peninggalan kuno dengan kelengkapan, letak serta bahan bangunan yang terjaga keasliannya. Adanya Tugu Pahlawan yang mempunyai nilai historis, karena pada tahun 1947 di lingkungan tersebut beberapa pahlawan daerah gugur dalam peperangan melawan NICA. Tugu Pahlawan ini mempunyai bentuk tugu susun sembilan dengan arsitektur bali. Tugu ini dilengkapi dengan tempat parkir, tempat upacara dan Gedung Cura Yudha (Sumarna, 2010).
. Hutan Kayu
Di samping memiliki hutan bambu yang cukup luas, desa adat Penglipuran juga memiliki hutan adat yang dikenal sebagai hutan kayu laba pura yang menjadi milik desa adat (Awig-awig Desa Adat Penglipuran, Palet 5, Paos 25, ayat 2, 1989:8) memiliki luas sebesar 3Ha. Hasil penelitian Sarna, et al (1993) menyatakan bahwa dari sekitar 20% luas areal hutan kayu Laba Pura yang diamati sebagai kawasan kajian, ternyata menyimpan 60 jenis tumbuhan tinggi dengan jumlah total individu sebanyak 700 individu spesies. Dari 60 jenis tumbuhan tersebut, yang paling banyak yaitu Dysoxylum sp.(Majegau) yang merupakan maskot tumbuhan propinsi Bali (Wiguna, 2012).
Keberadaan hutan kayu Laba Pura Desa Adat Penglipuran adalah sebagai penyangga pemeliharaan bangunan pelinggih di Pura Desa. Artinya untuk keperluan perbaikan pura, masyarakat akan mencari kayu di kawasan hutan tersebut yang didahului dengan upacara nunas (memohon) sebelumnya (Sarna et al, 1993). Keberadaan hutan kayu Laba Pura Desa Adat Penglipuran adalah sebagai penyangga pemeliharaan bangunan pelinggih di Pura Desa. Artinya untuk keperluan perbaikan pura, masyarakat akan mencari kayu di kawasan hutan tersebut yang didahului dengan upacara nunas (memohon) sebelumnya (Sarna et al, 1993). Selain itu hutan ini berperan dalam menjaga siklus hidrologis di desa adat Penglipuran sehingga sangat dijaga kelestariannya oleh masyarakat di kawasan tersebut (Wiguna, 2012).
Kelestrian hutan di Desa Bali Aga ini masih terjaga berkat adanya upaya pelestarian baik itu dari masyarakat setempat dan campur tangan dari pemerintah. Hutan yang terdapat di Desa Penglipuran terdapat dua jenis hutan yaitu hutan kayu dan hutan bambu (Wiguna, 2012).
Kedua jenis hutan ini merupakan warisan kebudayaan dari para leluhur terdahulu. Sehingga keberadaan hutan kayu dan bambu di Desa ini tetap terjaga kelestariannya sampai sekarang. Upaya pelestarian kedua jenis hutan di Desa Adat Penglipuran ini merupakan upaya untuk tetap mempertahankan warisan kebudayaan yang telah ada sebelumnya, dimana didalamnya terkandung nilai nilai agama Hindu dan nilai spiritual tinggi. Untuk menjaga kelestarian hutan di Desa Adat Penglipuran ini, masyarakat disana menerapkan konsep nilai-nilai keagamaan agama Hindu seperti konsep Tri Hita Karana. Konsep ini merupakan konsep kebudayaan Bali yang digunakan untuk menjaga keharmonisan lingkungan yang berada di desa tersebut. Bentuk aplikasi nilai-nilai kebudayaan yang telah dilaksanakan oleh masyarakat disana dalam hal untuk menunjang kelestarian hutan dapat dilihat dari prilaku masyarakat Desa Penglipuran saat ini (Wiguna, 2012).
Pertama, adanya konsep “Hutan Due” yang telah disahkan pada awig-awig (peraturan) desa. Konsep “Hutan Due” yang berarti hutan yang dikeramatkan oleh masyarakat setempat. Kayu atau pun hasil hutan yang ada di hutan itu hanya bisa digunakan untuk keperluan yadnya yang dilaksanakan untuk kepentingan upacara di pura adat. Jika ada orang yang mengambil hasil hutan pada hutan tersebut untuk kepentingan pribadi tanpa sepengetahuan aparat desa, maka akan dikenakan sangsi sesuai awig-awig yang telah disepakati (Wiguna, 2012).
Kedua, masyarakat Penglipuran memandang keserasian hubungan antara manusia dengan alam mengambil pengumpamaan “sekadi manik ring cacupu”. Manusia diumpamakan sebagai manik (janin), sedangkan alam sebagai cacupu (rahim). Konsep ini mengandung makna bahwa manusia hidup dilingkupi oleh alam, dan dari alamlah manusia memperoleh sarana untuk hidup. Dalam posisi itu jelas tampak bahwa manusia hidup bebas alam keterikatan dengan alam. Manusia bebas mengambil apa saja dari alam, tetapi dia wajib menjaga kelestariannya. Jika alam rusak, maka manusia pasti akan hancur. Atas dasar itu, sudah selayaknya masyarakat disana menaruh rasa hormat kepada alam yang diimplementasikan dengan berbagai upacara keagamaan, seperti upacara Tumpek pengatag (penghormatan kepada Tuhan dalam manifestasinya sebagai pencipta tumbuhan). Tumpek kandang (penghormatan kepada Tuhan dalam manifestasinya sebagai pencipta binatang) dan upacara ngusaba bantal (sebagai penghormatan kepada Tuhan atas hasil panen yang telah mereka nikmati) (Wiguna, 2012).
Ketiga, adanya pendidikan tradisi yang diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Pengetahuan ini terkait dan "terbingkai" dalam kehidupan keseharian masyarakat setempat, seperti pada perilaku hidup dalam mengatasi permasalahan hidup dari berbagai ancaman manusia dan bencana alam (gempa bumi, hujan/banjir, dan petir), upacara ritual keagamaan, arsitektur bangunan- bangunan tradisional, berkesenian, dan sebagainya. Hal ini merupakan salah satu upaya dalam menjaga kelestarian warisan budaya di desa tersebut (Wiguna, 2012).
Bentuk hasil perilaku masyarakat Penglipuran untuk menjaga keharmonisan alam lingkungannya dapat terlihat dari masih lestarinya sungai Sangsang di sebelah Barat desa, lestarinya vegetasi hutan kayu yang berada disekitar Pura Puseh dan Penataran Desa Penglipuran, dan hutan bambu yang mengelilingi desa mereka. Disamping itu dalam mendukung pelestarian lingkungan di Desa Adat Penglipuran, pemerintah daerah juga ikut berpatisipasi dengan memberikan bantuan berupa penanaman pohon atau tanaman Bali di sekitar hutan tersebut. Disamping itu, pemerintah RI juga telah memberikan penghargaan Kalpataru kepada Desa Adat Penglipuran dalam upaya pelestarian hutan (Wiguna, 2012).
Pola Tata Ruang dan Tata Bangunan
Desa Tradisional Penglipuran memiliki potensi budaya yang sampai saat ini tetap terpelihara dengan baik. Potensi paling unik yang dimiliki adalah Pola Tata Ruang dan Arsitektur Bangunan Tradisional Bali Khas Penglipuran sehingga disebut sebagai Desa Tradisional Penglipuran (Sumarna, 2010).
Kemampuan mempertahankan penataan ruang dan bangunan secara tradisional di desa Penglipuran, menjadi suatu daya tarik tersendiri sehingga akhirnya tempat ini berkembang menjadi desa wisata. Kegigihan para penduduknya untuk memperjuangkan keaslian desa juga patut mendapat penghargaan, tidak mengherankan desa Penglipuran pernah memperoleh anugerah Kalpataru (Anonim, 2012).
Pola penataan ruang dan tata letak bangunan tradisional di Penglipuran menggunakan Pola Dasar Nawa Sanga, yaitu penggabungan orientasi antara gunung dan laut serta terhadap peredaran matahari. Ciri yang menonjol adalah As Utara Selatan (kaje kelod dengan axis linier). Axis linier ini juga berfungsi sebagai open space untuk kegiatan bersama. Open space ini berorientasi ke arah kaja kelod dan membagi desa menjadi dua bagian. Openpsace Desa Tradisional penglipuran menanjak menuju ke arah gunung (utara) dimana terdapat bangunan suci dengan orientasi ke Gunung Batur (Sumarna, 2010).
Pola tata ruang dan tata letak bangunan rumah di Desa Adat Penglipuran pada umumnya mengikuti Pola Tri Mandala yaitu :
• Utama Mandala, pada arah Kaje Sistem Desa merupakan tempat paling suci sehingga terdapat pura dan bangunan suci dan dalam Sistem Persil Rumah berupa sanggah (persembahyangan keluarga).
• Madya Mandala, pada bagian tengah Sistem Desa berupa areal perumahan dan kegiatan usaha dan pada sistem Persil Rumah pekarangan rumah digunakan sebagai bangunan tempat tinggal, dapur (paon), Bale Seke Enem, Loji, Lumbung dan bangunan lainnya yang dipandang perlu.
• Nista Mandala, pada arah Kelod Sistem Desa adalah tempat yang kotor seperti kuburan dan dalam Sistem Persil Rumah terletak kamar mandi/wc, kandang ternak, tempat kayu bakar dan lain-lain (Sumarna, 2010).
Rumah setiap keluarga dalam setiap kaveling tampak hampir seragam semuanya, berada dalam pekarangan dan dibatasi oleh pagar tembok serta memiliki gerbang khas Bali yaitu angkul-angkul yang terbuat dari tanah sebagai pintu masuk. Setiap pekarangan mempunyai beberapa bangunan berupa ruangan tidur, ruangan tamu, dapur, balai-balai, lumbung dan tempat sembayang dalam rumah. Bangunan berarsitektur tradisional dengan material tiang dari kayu dan atap yang khas berupa sirap bamboo (Wayan, 2002).
Dilihat dari segi tradisi, desa adat ini menggunakan sistem pemerintahan hulu apad. Pemerintahan desa adatnya terdiri dari prajuru hulu apad dan prajuru adat. Prajuru hulu apad terdiri dari jero kubayan, jero kubahu, jero singgukan, jero cacar, jero balung dan jero pati. Prajuru hulu apad otomatis dijabat oleh mereka yang paling senior dilihat dari usia perkawinan tetapi yang belum ngelad. Ngelad atau pension terjadi bila semua anak sudah kawin atau salah seorang cucunya telah kawin. Mereka yang baru kawin duduk pada posisi yang paling bawah dalam tangga keanggotaan desa adat (Wayan, 2002).
Sistem lingkungan yang berteras dapat berfungsi mencegah erosi, dan kelangsungan topografi desa yang miring/melereng dari arah utara ke selatan. Kondisi alam ini mengharuskan setiap warga dan para wisatawan untuk berjalan mendaki jika ingin melihat keindahan desa adat. Dibagian atas desa terdapat hutan bambu dan hutan kayu yang terpelihara sehingga menambah sejuknya suasana desa dan menjaga/menahan air sehingga terhindar dari erosi. Hutan bambu yang ada merupakan bambu dari jenis bambu tali, biasanya dipakai untuk bahan kerajinan. Warga masyarakat dapat memanfaatkan bambu untuk keperluan mereka, namun bambu yang diambil harus bambu yang cukup umur dengan sistem tebang pilih. Hal ini di lakukan untuk menjaga kelangsungan dan keasrian hutan bambu tersebut (Wayan, 2002).
Selain keseragaman bentuk bangunan tradisi yang ada di desa ini adalah adanya pekarangan memadu. Pekarangan ini merupakan tanah kosong yang disediakan untuk warga desa adat penglipuran yang diasingkan karena melakukan pelanggaran adat berupa menikah lagi/berpoligami. Masyarakat Desa penglipuran menganut paham monogami, sehingga setiap perbuatan poligami merupakan pelanggaran adat dan pelakunya harus diasingkan di pekarangan memadu yang terletak di Selatan desa/paling bawah. Dan bagi warga yang melakukan poligami tersebut berserta anak keturunannya akan diasingkan dan disediakan pekarangan dan kalau perlu akan dibangunkan rumah oleh adat untuk tempat tinggal, namun mereka tidak boleh memasuki desa adat dan tidak boleh mengikuti upacara adat. Sampai saat ini belum ada yang berani melanggar aturan adat tersebut dan pekarangan tersebut masih kosong dan oleh penduduk desa dianggap sebagai karang leteh (tempat yang kotor) (Wayan, 2002).
Keunikan desa adat Penglipuran adalah walaupun beragama hindu, masyarakat penglipuran memiliki kuburan desa. Upacara Ngaben yang dilakukan hanya untuk mengantarkan roh orang yang meninggal kepada sang pencipta. Kuburan desa ini rata dengan tanah tidak ada tanda/nisannya dan dibagi dalam 3 bagian, yakni untuk anak-anak dibawah 12 tahun, untuk orang yang meninggal secara biasa (sakit) dan kuburan untuk orang yang meninggal secara tidak wajar, biasanya disebabkan karena kecelakaan, dibunuh dan lain-lain (Wayan, 2002).
Hal yang unik dan khas lainnya di penglipuran adalah tidak ada tempat sampah di jalan utama desa adat, hal ini selain dikarenakan adanya “awig-awig” tersebut, juga karena mengubah kebiasaan warga desa yang biasa menyapu di pagi dan sore hari, karena warga jadi malas menyapu dan akhirnya banyak sampah menumpuk dan di “acak-acak” anjing warga, sehingga jalan utama menjadi kotor. Untuk pengelolaan sampah rumah tangga, untuk sampah plastik dan kertas dibakar langsung pada waktu memasak, sampah sisa makanan di gunakan sebagai pakan ternak, dan untuk sampah daun dan lainnya sebagian ada yang langsung dibakar dan ada pula yang di taruh di tempat sampah desa di dekat balai banjar. Kebiasaan masyarakat untuk hidup bergotong royong dan mencintai kebersihan serta memiliki budaya malu yang tinggi menjadikan desa penglipuran menjadi desa yang bersih dan nyaman dalam upaya menuju pariwisata sehat (Wayan, 2002).
Sosial Kemasyarakatan
Aturan-aturan desa adat (awig-awig) diyakini sebagai nilai-nilai luhur yang secara turun temurun diterima dan dilaksanakan dengan konsekuen. Desa Adat Penglipuran dipimpin oleh seorang Kelian adat dan paruman Adat merupakan lembaga tertinggi pengambil keputusan. Jumlah penduduk Desa Adat Penglipuran pada tahun 2004 adalah 868 orang dengan jumlah KK 194. Mata pencaharian penduduk sebagian besar petani dan sebagian lainnya pegawai negeri dan pengrajin (Wayan, 2002).
Segala aktivitas kemasyarakatan di Desa Penglipuran merupakan bagian dari awig-awig yang telah ditetapkan paruman adat. Sebagai contoh di Penglipuran terdapat se-petak karang yang disebut Karang Memadu, yaitu karang yang dipruntukkan bagi warga yang terkena sanksi awig-awig karena beristri lebih dari satu, dan sampai saat ini terus ditaati. Kemudian pengelolaan kunjungan wisatawan (karcis masuk) merupakan kerjasama antara desa adat dengan Pemerintah Kabupaten Bangli.
Di bidang kesenian, terdapat seni tari yang hanya dipentaskan pada hari-hari tertentu yang berkaitan dengan adat seperti Tari Sanghyang, tari Baris massal dan tari barong Ngunying. Kesenian Gong Kebyar dan tari Legong serta Joged Bumbung (musiknya dari bambu) juga ada yang dapat dipentaskan sewaktu-waktu (Wayan, 2002).
Evaluasi Aspek Pembangunan Wisata
Evaluasi aspek-aspek pembangunan pariwisata berkelanjutan yang mencakup aspek ekonomi, sosial-budaya, dan lingkungan sehubungan dengan dijadikannya Penglipuran sebagai Desa Wisata dijelaskan sebagai berikut:
1. Aspek Ekonomi
Pembangunan pariwisata berkelanjutan di Desa Wisata Penglipuran belum sepenuhnya memberikan manfaat ekonomi secara langsung dan adil kepada masyarakat lokal (host community) karena hanya 5% masyarakat lokal bekerja di sektor pariwisata. Tetapi secara tidak langsung masyarakat lokal telah mendapatkan manfaat ekonomi, manfaat ini diperoleh melalui Desa Dinas atau Desa Adat dimana mereka berada, karena sebagian penghasilan dari panjualan tikrt masuk Desa Wisata Penglipuran masuk ke kas Desa Adat (Juniarta, 2011).
Tiket masuk daya tarik wisata di Desa Wisata Penglipuran sebesar Rp. 7.500/kepala (wisatawan). Pendapatan Desa Wisata penglipuran yang diperoleh dari hasil penjualan tiket dibagi tiga yaitu:
1) Untuk petugas pemungut tiket masuk,
2) Untuk pemerintah daerah Kabupaten Bangli
3) Untuk Desa Adat Penglipuran.
Cara pembagian pendapatan tersebut adalah; 20% dari total pendapatan perbulan diberikan kepada petugas penjaga tiket masuk, yang pada hal ini dibebankan kepada Sekaa Truna Yowana Bhakti yang nantinya dibagi lagi sebesar 15% untuk yang bertugas dan 5 % untuk kas Sekaa Truna Yowana Bhakti. Kemudian sebesar 60% untuk pemerintah daerah Kabupaten Tabanan. Dan sisanya sebesar 20% untuk Desa Adat Penlipuran. Pembagian tersebut berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten Tabanan. Karena hanya ada 1 jalan masuk/main entry menuju desa wisata penglipuran, memudahkan petugas dalam memungut tiket masuk (Juniarta, 2011).
Ditemukan juga bahwa hanya sedikit usaha perekonomian masyarakat lokal yang berhubungan langsung dengan industri pariwisata. Warung-warung yang ada disekitar daerah objek wisata hanya diperuntukan untuk masyarakat lokal dan wisatawan domestik dan bukan untuk wisatawan manca negara karena warung-warung tersebut tidak memiliki standar internasional. Kebanyakan masyarakat lokal masih tetap bergelut dalam bidang pertaninan yang merupakan profesi yang telah ditekuni bertahun-tahun dan warisan nenek moyangnya. Penghasilan dari hasil pertanian mereka hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari saja. Sekarang ini, hasil pertanian sangat tidak sesuai dengan harapan masyarakat lokal dan bahkan cendrung merugi apabila dihitung antara biaya yang dikeluarkan oleh petani untuk mengolah lahannya dengan hasil penjualan hasil pertaniannya. Akan tetapi masyarakat Desa Wisata Penglipuran memiliki ide kreatif dalam memanfaatkan sumber daya yang ada di desanya yaitu hutan bambu yang berada di utara desa dimana bambu yang biasanya dipakai sebagai atap rumah kini juga dikembangkan sebagai kerjinan-kerajinan yang yang dijajakan didalam area perumahan yang tentunya memiliki nilai ekonomi dan bisa menambah penghasilan masyarakat desa penglipuran. Agar tidak terjadi perebutan dalam penjualan souvenir, ada aturan yang mengatur dimana wisatawan harus membeli kerajinan tangan dirumah penduduk yang ditujukan oleh pecalang setempat. Hampir semua masyarakat desa penglipuran memiliki semacam tempat untuk memajang hasil kerajinannya di dalam pekarangan rumah (Juniarta, 2011).
2. Aspek Sosial-budaya
Kehidupan sosial-budaya masyarakat di Desa Wisata Penglipuran masih sangat kental, ini dibuktikan masih antosiasnya masyarakat lokal untuk melakukan berbagai macam upacara keagamaan seperti; piodalan, pecaruan, pamungkahan dan lain-lain. Dalam hal upacara keagamaan di pura, pelaksanaannya sepenuhnya dilakukan oleh anggota (krama) desa adat dan biayanya diperoleh dari desa adat setempat, sumbangan dari hasil penjualan tiket masuk Desa Wisata Penglipuran dan bantuan dari pemerintah Kabupaten Bangli (Juniarta, 2011).
Masyarakat lokal sama sekali tidak mempermasalahkan apabila tempat suci (pura) yang ada di kawasan wisata juga dijadikan objek wisata sejauh masih memenuhi atau sesuai dengan peraturan (awig-awig) yang berlaku. Masyarakat lokal sebenarnya tidak mengharapkan uang atau sumbangan atas dijadikannya mereka sebagai pertunjukan wisata pada saat upacara keagamaan berlangsung. Tetapi apabila ada wisatawan yang ingin menyumbang, sumbangan tersebut dimasukan atau diterima oleh Desa Adat.
Kehidupan sosial warga masyarakat lokal berjalan dengan baik dan tidak ada indikasi terjadinya konflik kepentingan antar warga (Juniarta, 2011).
Hal yang sangat signifikan bisa dilihat mengenai kehidupan sosial dan budaya dari masyarakat Penglipuran adalah kesamaan tata pengaturan perumahan yang hanya dilalui oleh satu rurung (jalan) yang membagi perumahan pada tempek kangin (sebelah timur) dan tempek kauh (sebelah barat). Angkul-angkul (pintu masuk) yang yang memiliki kesamaan antara satu rumah dengan rumah lainnya yang berhadap hadapan, tata letak bangunan di dalam area perumahan dimana diharskan setiap rumah memiliki bale adat dan dapur adat yang bentuk dan fungsinya sama pada setiap perumahan. Selain itu keharmonisan juga terlihat dari adanya jalan pintas yang menghubungkan satu rumah dengan rumah lainnya, ini menandakan bahwa masyarakat pemglipuran merupakan masyarakat sosial yang tidak bisa lepas dari masyarakat lainnya (Juniarta, 2011).
Pada dasarnya masyarakat lokal menerima dengan baik dan merasa bangga sehubungan dengan desanya dijadikan sebagai salah satu Desa Wisata di Bali. Masyarakat berpendapat bahwa dengan dijadikannya sebagai Desa Wisata setidaknya memberikan kontribusi kepada desanya walaupun secara langsung mereka belum menikmatinya. Namun, pembangunan Desa Wisata juga memberikan peluang kerja kepada beberapa masyarakat lokal yang berkompetensi dalam bidang kepariwisataan (Juniarta, 2011).
Harapan utama masyarakat lokal adalah diadakannya upaya-upaya pelestarian aset wisata sehingga tetap alami, asri dan mempunyai kekhasan yang membedakan dengan objek-objek wisata lainnya. Dengan kekhasan ini diharapkan mampu menarik wisatawan untuk mengunjungi objek wisata ini. Masyarakat lokal juga mengharapkan perbaikan-perbaikan infrastuktur seperti jalan, tempat parkir, penerangan jalan, pengadaan tempat-tempat sampah (Juniarta, 2011).
Guna menambah keahlian/skill dari pegiat pariwisata di Desa Penglipuran, akan diadakannya pelatihan pelatihan bagi masyarakat lokal Desa Penglipuran baik pelatihan soft skill maupun hard skill seperti pelatihan bahasa asing, pemahaman tentang pariwisata dan strategi strategi pengembangan pariwisata agar dapat berkelanjutan (Juniarta, 2011).
3. Aspek Lingkungan
Pembangunan pariwisata di Desa Wisata Penglipuran tidak mengakibatkan dampak-dampak negatif terhadap lingkungan dan penurunan kualitas tanah atau lahan pertaninan baik lahan perladangan maupun persawahan. Kelestarian hutannya masih tetap terjaga dengan baik. Masyarakat secara bersama-sama dan sepakat untuk melestarikan hutannnya dan tanpa harus ketergantungan terhadap hutan tersebut. Pada dasarnya masyarakat lokal telah sadar terhadap perlunya pelestarian hutan, karena kawasan hutan yang dimaksud merupakan daerah resapan air yang bisa dipergunakan untuk kepentingan hidupnya maupun mahluk hidup yang lainnya serta untuk keperluan persawahan (Juniarta, 2011).
Untuk mejaga lingkungan tetap asri, Desa Adat Penglipuran memiliki aturan aturan yang mengatur mengenai hari/waktu untuk melakukan kerja sosial untuk membersihkan lingkungan. Setiap harinya masyarakat penglipuran dibebankan untuk membersihan wilayah/pekarangan rumahnya, utamanya pada area depan rumah yang ditanami rumput, pemotongan rumput dilakukan 2 kali dalam sebulan pada tanggal 1 dan 15 setiap bulannya. Apabila ditemukan ada rumput yang menjalar liar atau tidaka dipotong akan dikenakan denda sebesar Rp 1000 . untuk kebersihan tempat umum seperti pura desa dilakukan oleh desa adat setiap 2 kali dalam sebulan saat rahinan (hari baik umat hindu) purnama. Kebersihan tempat parkir dilakukan oleh desa dinas yang dilakukan setiap 2 kali dalam sebulan saat manis tumpek (Juniarta, 2011).
Dalam upaya untuk menjaga lingkungan tetap bersih, desa penglipuran memiliki sebuah tempat sampah yang ukurunya cukup besar yang merupakan sumbangan dari pemerintah Kabupaten Bangli. Semua sampah masyarakat desa penglipuran dikumpulkan di tempat ini yang nantinya diambil secara rutin setiap seminggu sekali oleh Dinas Kebersihan Kabupaten Bangli (Juniarta, 2011).
REFERENSI
Anonym. 2012. Desa Wisata Penglipuran.http://desawisata.web.id/desa/desa-wisata-panglipuran/?lang=id. Diakses pada 2 Desember 2013 Pukul 23.00 WIB
Anonym. 2012. lingkungan desa adat panglipuran. http://ragamtips14.blogspot.com/2012/01/lingkungan-desa-adat-penglipuran.html. Diakses pada 2 Desember 2013 Pukul 23.00 WIB
Ardika, I Wayan, 2002. Kebijakan Pariwisata Budaya Dalam perspektif Budaya Bali (Makalah Sarasehan Seni Sakral). Denpasar: Dinas Kebudayaan Propinsi Bali.
Duija, I Nengah. 2002. Ekspresi Seni Masyarakat Tradisional Desa Adat Penglipuran Bangli Sebagai Sarana Pemujaan Kepada Tuhan (Kajan Bentuk, Fungsi, Dan Makna). Denpasar. Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar.
Nurhandi, Priandono. 2011. Ecoturism Its Role And Challange. http://insight-journal.blogspot.com/2011/09/ecotourism-its-role-and-challenge.html. Diakses pada 2 Desember 2013 Pukul 23.00 WIB
Suastra, I Wayan. 2005. Disertasi : Merekonstruksi Sains Asli (Indigenous Science) Dalam Rangka Mengembangkan Pendidikan Sains Berbasis Budaya Lokal Di Sekolah ( Studi Etnosains Pada Masyarakat Penglipuran Bali). Bandung. Program Pasca Sarjana Universitas Pendidikan Indonesia.
Sumarna, Eddy. 2010. Profil Potensi Desa Penglipuran. http://eddysoemarna.wordpress.com/category/uncategorized/. Diakses pada 2 Desember 2013 Pukul 23.00 WIB
Wiguna, Catur. 2012. Upaya Pelestarian Hutan Berdasarkan Kearifan Lokal Masyarakat di Desa Adat Penglipuran, Bali. http://biohabbites.blogspot.com/2012/01/upaya-pelestarian-hutan-berdasarkan.html. Diakses pada 2 Desember 2013 Pukul 23.00 WIB
Yulianti, Fitri. 2013. http://travel.okezone.com/read/2013/09/28/407/873283/ini-dia-9-ekowisata-terbaik-se-indonesia. Diakses pada 2 Desember 2013 Pukul 23.00 WIB
Tidak ada komentar:
Posting Komentar